Jumat, 10 Agustus 2012

PERANAN PNDIDIKAN SENI RUPA DALAM MMBANGUN KARAKTER BANGSA

PERANAN PENDIDIKAN SENI RUPA
DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

Oleh: Imam Nofianto
(Mahasiswa Seni Rupa FBS Unnes)



PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengutamakan pendidikan. Dapat dilihat pada APBN jumlah alokasi dana untuk pendidikan sendiri sampai dengan 20% dari anggaran. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah sangat memperhatikan pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting dan bisa juga dikatakan vital dalam upaya meningkatkan taraf hidup berbangsa dan bernegara.
Tujuan pendidikan merupakan suatu gambaran dari falsafah hidup atau pandangan hidup manusia, baik secara perorangan maupun secara kelompok (bangsa dan negara). Membicarakan tujuan pendidikan akan menyangkut sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan dan religi, filsafat, ideologi, dan sebagainya. Tujuan pendidikan di suatu negara akan berbeda dengan tujuan pendidikan di negara lainnya, sesuai dengan dasar negara, falsafah hidup bangsa, dan ideologi negara tersebut.
Pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang baik, manusia-manusia yang lebih berkebudayaan, manusia sebagai individu yang memiliki kepribadian yang lebih baik. Nilai-nilai yang hidup dan berkembang di suatu masyarakat atau negara, menggambarkan pendidikan dalam suatu konteks yang sangat luas, menyangkut kehidupan seluruh umat manusia, yang digambarkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik.
Pendidikan sebagai sub-sistem masyarakat menpunyai peranan mewariskan, memelihara, dan sekaligus sebagai agen pembaharuan kebudayaan. Pendidikan dapat dikonsepkan sebagai proses budaya manusia. Kegiatannya dapat berwujud sebagai upaya yang dipikirkan, dirasakan, dan dikehendaki manusia. Pada dasarnya pendidikan merupakan unsur dan peristiwa budaya. Pendidikan melibatkan sekaligus sebagai kiat dan disiplin pengetahuan yang mempengaruhi manusia untuk belajar.
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Berkaitan dengan proses budaya, Munib, dkk (2007) menyampaikan bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk budaya dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Salah satu cara untuk memelihara kebudayaan adalah melalui pengajaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai penyampai, pelestari, dan sekaligus pengembangan kebudayaan. Lebih jauh lagi tentang kebudayaan, bahwasanya kebudayaan dapat melambangkan dan mencerminkan tentang bagaimana karakter dan jati diri suatu bangsa. Pendidikan seni rupa sebagai salah satu bagian integral dari pendidikan, di mana pendidikan itu sendiri merupakan sub-sistem kebudayaan mempunyai sebuah peranan yang cukup penting dalam sebuah upaya untuk membangun dan melestarikan, serta mengembangkan kebudayaan. Lebih khusus lagi, pendidikan seni rupa memiliki peranan yang cukup penting dalam upaya pembangunan karakter bangsa.
Dari uraian di atas dapat di rumuskan pertanyaan (1) Mengapa pendidikan seni rupa dapat berperan dalam membangun karakter bangsa? (2) Bagaimana pendidikan seni rupa berperan dalam membangun karakter bangsa? Penulisan karya tulis ini memiliki tujuan untuk mengetahui peranan pendidikan seni rupa dalam menbangun karakter bangsa dan Mengetahui bagaimana pendidikan seni rupa berperan dalam membangun karakter bangsa.

TINJAUAN PUSTAKA
Pendidikan dan Pendidikan Seni Rupa
Pada hakikatnya pendidikan adalah upaya sadar dari suatu masyarakat dan pemerintah suatu negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerus, selaku warga masyarakat, bangsa dan negara, secara berguna dan bermakna serta mampu mengantisipasi hari depan generasi penerus yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara dan hubungan internasiaonalnya (Subagyo, dkk, 2007: 1). Sementara itu menurut paham konvensional dalam (Sugandi, dkk, 2007: 6) pendidikan dalam arti sempit diartikan sebagai bantuan kepada anak didik terutama pada aspek moral atau budi pekerti. Dari kedua pengertian di atas penulis dapat mengartikan bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah maupun masyarakat sehingga kelangsungan generasi penerus dapat diperhatikan, dalam hal ini adalah peserta didik.
Beberapa pengertian pendidikan dalam Munib, dkk (2007: 32) sebagai berikut:
a.         Ki Hajar Dewantara menyatakan, bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.
b.        Crow and Crow menyatakan, bahwa pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupn sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.
c.         John Dewey dalam bukunya Democracy and Education menyebutkan, bahwa pendidikan adalah proses yang berupa pengajaran dan bimbingan, bukan paksaan, yang terjadi karena adanya interaksi dengan masyarakat.
d.        Dictionary of Education menyatakan, bahwa pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat orang itu hidup, proses sosial yakni orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga orang tersebut dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal.
e.         Driyarkara menyatakan, bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah disebut mendidik. Pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.
f.         GBHN Tahun 1973 menyatakan, bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
g.        UUSPN No. 2 Tahun 1989 menyatakan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan / atau pelatihan bagi pernannya di masa yang datang.
h.        UUSPN No. 20 Tahun 2003 menyatakan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual-keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
i.          Daoed Joesoef menegaskan, bahwa pengertian pendidikan mengandung dua aspek yakni sebagai proses dan sebagai hasil / poduk. Yang dimaksud dengan proses adalah: proses bantuan, pertolongan, bimbingan, pengajaran, pelatihan. Sedangkan yang dimaksud dengan hasil / produk adalah: manusia dewasa, susila, bertanggungjawab, dan mandiri.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis, yang dilakukan orang-orang yang diserahi tanggungjawab untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan.
Dalam Soegito, dkk ( 2007 : 10 ) sesuai dengan pasal 3 UU.No. 20 Tahun 2003, Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Sesuai dengan apa yang telah tertuang dalam tujuan pendidikan nasional, pendidikan seni rupa diselenggarakan sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan tujuan tesebut. pendidikan seni rupa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan nasional. Selain itu pembelajaran/pendidikan seni merupakan bagian integral pendidikan atau subsistem pendidikan.
Terkait dengan pandangan tentang pendidikan seni, Ismiyanto (2010) menyampaikan dua pandangan tentang pendidikan seni rupa dilihat dari pendekatannya yaitu yang pertama adalah pendidikan seni sebagai pendidikan ketrampilan. Pendidikan tersebut memiliki tujuan akhir yaitu siswa mampu menguasai salah satu ketrampilan di bidang seni. Sementara itu pandangan yang kedua adalah lebih mementingkan proses atau pengalaman belajarnya tentang berkesenian sebagai bagian dari pendidikan secara keseluruhan.
Dalam Ismiyanto (2010), pendekatan kedua pandangan tentang pendidikan seni tersebut dipengaruhi oleh paham yang berkembang dalam menyiasati atau mendekati dunia pendidikan seni, yaitu “seni dalam pendidikan” (Art in Education) dan “pendidikan melalui seni” (Education through Art). Pendekatan “seni dalam pendidikan” sejalan dengan pandangan bahwa pendidikan adalah proses enkulturasi (proses pembudayaan yang dilakukan dengan upaya mewariskan atau menanamkan nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi berikutnya). Dengan demikian, pendekatan “seni dalam pendidikan” merupakan upaya pendidik dan institusi pendidikan dalam rangka mewariskan, mengembangkan, dan melestarikan berbagai jenis kesenian melalui sekolah. Penguasaan ketrampilan seni merupakan hal yang sangat penting, sehingga metode-metode mencontoh, latihan (drill), memola, dikte, dan penugasan merupakan kelaziman dalam kegiatan pembelajaran.
Kemudian yang kedua adalah pendekatan “pendidikan melalui seni”, bahwa seni seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan pendidikan, bukan untuk kepentingan seni itu sendiri. Dengan kata lain, peran pendidikan seni bukan sebagai upaya pengembangan dan pelestarian seni, tetapi sebagai media pengembangan kepribadian.
Tujuan dari diselenggarakannya pendidikan seni di sekolah diantaranya adalah untuk mengembangkan kreativitas dan sensitivitas peserta didik, meningkatkan kapasitas dan kualitas pengetahuan kesenian peserta didik, dan meningkatkan keterampilan peserta didik.

Karakter dan Budaya Bangsa
Karakter merupakan suatu kualitas pribadi yang bersifat unik yang menjadikan sikap atau perilaku seseorang yang satu berbeda dengan yang lain. Karakter, sikap, dan perilaku dalam praktek muncul secara bersama-sama. Sehingga sulit jika kita hanya akan melihat karakter saja tanpa munculnya sikap atau perilaku (http://bk3sjatim.org/?p=1178). Oleh karena itu berbicara tentang karakter tidak dapat dipisahkan dengan sikap atau perilaku, sebab karakter itu akan muncul ketika orang berinteraksi dengan orang lain atau makhluk cipataan Tuhan lainnya. Secara psikologis konsepnya adalah konsep individual. Jika kemudian hal tersebut menjadi suatu karakter bangsa maka perlu adanya acuan. Artinya dari konsep individual menjadi sebuah konsep kemasyarakatan dan lebih luas lagi yaitu bangsa, maka haruslah ada instrumen sebagai alat evaluasi yaitu kebudayaan. Secara ringkas kebudayaan berisi sistem nilai, norma dan kepercayaan. Budaya dikembangkan dan diamalkan oleh masyarsakat pengembangnya, sehingga anggota masyarakat dalam wilayah budaya tersebut memiliki kecenderungan yang sama dalam hal mengamalkan sistem nilai, norma dan kepercayaan mereka. Dengan demikian dalam konteks ini budaya dapat dianggap sebagai instrumen untuk melihat kencenderungan perilaku pengembangnya.
Dari kedua konsep di atas, maka dapat dikemukakan bahwa perilaku merupakan resultan dari berbagai aspek pribadi dan lingkungan. Jadi berbicara tentang karakter merupakan konsep psikologi dan kebudayaan.
Karakter itu bersifat dinamis, dapat berubah dari suatu periode waktu tertentu ke periode lainnya, walaupun tidak mudah. Sebagai salah satu contoh adalah, dulu sering dikatakan bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur yang mempunyai karakter sopan, santun, altruistik, ramah tamah, berperasaan halus dan lain-lain yang menggambarkan sebuah sikap atau perilaku yang mengindikasikan keluhuran budi pekerti. Bagaimanakah kondisi sekarang? Banyak yang meragukan bahwa karakter tersebut masih menjadi ikon Bangsa Indonesia.
Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar. Menurut Koentjaraningrat (dalam Bastomi) asal katanya budaya dari bahasa Sansekerta budhayah. Kata ini bentuk jamak dari kata budh yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan berarti hal-hal yang berhubungan dengan akal dan budi yang merupakan buah usaha manusia. Sementara itu, Vogler (dalam Sedyawati, 2006:40) melihat sejarah kebudayaan atau kesenian sebagai suatu proses dalam satuan-satuan masyarakat yang monolitik. Masyarakat cenderung dilihatnya sebagai bercorak tunggal untuk satu masa dan satu wilayah. Perubahan gaya seni ditentukan oleh yang berkuasa dalam masyarakat, baik dalam bidang politik maupun agama.
Jika kini kita mau membangun karakter bangsa, persoalannya adalah karakter Bangsa Indonesia itu yang mana? Kalau karakternya orang Bali, Jawa, Madura, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Ambon, Irian, dan lain-lain suku bangsa yang ada di Indonesia, mungkin sudah ada, tetapi kalau karakternya Bangsa Indonesia tampaknya belum jelas.
Bangsa Indonesia dapat dikatakan secara resmi terbentuk ketika para pemuda dari berbagai suku bangsa yang antara lain tersebut di atas pada tanggal 28 Oktober 1928 menyatakan sumpahnya yang kemudian dikenal dengan “Sumpah Pemuda”, mengakui berbangsa yang satu Bangsa Indonesia, Bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Jadi pada tahun 1928 secara fisik bangsa Indonesia sudah terbentuk. Namun secara psikologis, sosial budaya, ekonomi, dan lain-lain karakter bangsa belum mengkristal, lebih-lebih ketika kita hendak tetap menjaga kebinekaan kita.
Dulu, pada era orde baru dan orde lama diajarkan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa. Jika hal ini kita pegang maka karakter bangsa Indonesia adalah Pancasilais. Karena merupakan sebuah kristal budaya maka karakter itu maka kelima sila tiu merupakan satu kersatuan, bukan satu-satu. Akan tetapi kini Pancasila meskipun secara yuridis formal masih diakui sebagai dasar negara, tetapi pamornya kalah dengan demokrasi. Karakter bangsa yang demokratis kini lebih mengedepan. Semestinya warna demokrasi di Indonesia mestinya berbeda dengan demokrasi di negara lain. Memang perbedaan itu dapat terlihat, setidaknya pelaksanaan demokrasi yang cederung berbau kekerasaan, pemaksaan, dan anarkhis.
Masalah lainnya, hampir semua karakter luhur itu bisa dimiliki oleh semua manusia di dunia tanpa melihat suku atau bangsa apa. Misalnya karakter altruistik mungkin saja tidak hanya menjadi ikon sebuah bangsa tetapi banyak bangsa-bangsa di dunia yang berkarakter demikian. Jadi sesungguhnya karakter itu hanya bersumber dari dua sifat khusus yaitu malaikat dan setan. Ada karakter kemalaikat-malaikatan dan kesetanan. Dapat ditambahkan dalam kondisi empirisnya campuran antara keduanya.

METODE PENULISAN
Pendekatan Penulisan
Penulisan ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penulisan berupa uraian-uraian dari berbagai sumber dan analisa.

Sumber Data
Data-data yang digunakan pada penulisan ini adalah data-data yang didapat melalui kajian pustaka.

Sistematika Penulisan
Dalam penulisan ini sistematikanya terdiri dari halaman judul; berisi judul, nama penulis, dan nama universitas serta tahun. Pendahuluan; berisi latar belakang dan rumusan masalah. Telaah pustaka; berisi pendidikan dan pendidikan seni rupa, karakter dan budaya bangsa. Metode penulisan; berisi pendekatan penulisan, sumber data, sistematika penulisan. Analisis dan sintesis; berisi membangun karakter bangsa melalui pendidikan seni rupa. Penutup; berisi simpulan dan rekomendasi. Bagian terakhir adalah daftar pustaka.

PEMBAHASAN
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Seni Rupa
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa. Ciri dan karakteristiknya pun berbeda-beda, antara suku bangsa yang satu dengn suku bangsa yang lain. Terkait dengan kemajemukan suku bangsa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat (2007:377-393) disampaikan dan dijelaskan beberapa faktor yang menjadi penghambat dalan pembangunan bangsa Indonesia diantaranya adalah: (i) faktor kenaikan penduduk; (ii) faktor aneka warna bangsa Indonesia; dan (iii) faktor sikap mental penduduk. Sementara itu, dalam Lubis (2008) disebutkan bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah artistik. Manusia Indonesia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaannya, dengan perasaan-perasaan sensualnya, dan semua ini mengembangkan daya artistik yang besar dalam diri manusia Indonesia yang dituangkan dalam segala cipta artistik dan kerajinan yang sangat indah-indah serba beraneka macamnya, variasinya, warna-warninya.
Pendidikan seni memiliki peranan yang cukup penting dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, khususnya dalam pembentukan dan pembangunan karakter peserta didik, dan lebih jauh lagi adalah karakter bangsa, karena peserta didik merupakan generasi penerus estafet kehidupan bangsa. Sehingga dalam proses penyelenggaraan pendidikan seni rupa peserta didik melalui pembelajaran seni rupa mampu mengembangkan sikap apresiatif, sensitivitas, dan kreativitasnya.
Dalam pembelajaran seni, dimungkinkan setiap anak menghasilkan produk atau karya yang berbeda dengan temannya. Dalam pembelajaran seni, anak menjadi terbiasa atau mengalami proses pembiasaan untuk berbeda dengan yang lain. Kondisi ini dalam jangka panjang akan berkontribusi terhadap pembentukan sikap hidup, misalnya penghargaan perbedaan pendapat, toleransi, dan demokratis dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (dalam Ismiyanto, 2010: 37).
Berkaitan dengan pembentukan sikap hidup seperti yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya bahwa, karakter sangat berkaitan erat dengan sikap dan perilaku, sehingga dari sikap dan perilaku seseorang dapat diketahui bagaimana karakter orang tersebut. Berangkat dari konsep individu kemudian berkembang kepada masyarakat dan lebih jauh lagi bangsa. Dalam melihat karakter suatu bangsa dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap kebudayaan pada bangsa itu sendiri. Dalam satu wilayah budaya dapat dilihat kecenderungan masyarakat dalam mengamalkan maupun menjalankan sistem nilai dan norma kepercayaan yang diyakini itu.
Melalui pendidikan seni rupa, peserta didik dapat mengenal dan memahami keanekaragaman karakter dan kebudayaan bangsa Indonesia. Melalui pendidikan seni rupa juga, siswa dilatih untuk memiliki dan mengambangkan karakter yang ada pada dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti rasa sensitivitas atau kepekaan, kreativitas, serta rasa estetisnya yang berkaitan dengan penghayatan tentang suatu keindahan. Tentunya hal tersebut diharapkan dapat berperan dalam proses pembangunan karakter peserta didik pada kehidupan sehari-hari sebagai generasi penerus bangsa.
Peran pendidikan seni khususnya seni rupa dapat berfungsi sebagai pendekatan dalam belajar, sehingga melalui penerapan pendidikan seni rupa dapat mengembangkan berbagai kemampuan dasar peserta didik untuk mencapai keseimbangan yang dikehendaki. Peran pendidikan seni secara tidak langsung dirasakan oleh peserta didik melalui pendekatan yang bersifat multidimensional, multilingual, dan multikultural (http://yandra08.blogspot.com/2009/07/seni-sebagai-pemberi-identitas-dalam.html).
1.        Peran Multidimensional
Peran pendidikan seni secara tidak langsung dirasakan oleh peserta didik melalui pendekatan yang bersifat multidimensional, yang berarti melalui pendidikan seni menumbuhkan dan mengembangkan berbagai kemampuan dasar peserta didik. Melalui kegiatan seni, peserta didik dapat mengembangkan berbagai kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk belajar. Konsep tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang dikemukakan oleh Herberd Read dalam bukunya, Education through Art. Kegiatan seni dapat membantu individu dalam perkembangan estetik, perseptual, intelektual, emosional, daya cipta, dan teknik”. Berdasarkan hal tersebut di atas, kecerdasan peserta didik pada dasarnya mampu dioptimalkan melalui pendidikan seni yang mencakup fisik, persepsi, pikir (intelektual), emosi (emosional), daya cipta (kreativitas), sosial dan estetika.
a.    Pengembangan Fisik
b.    Pengembangan Persepsi
c.    Pengembangan Pikir
d.   Pengembangan Emosi
e.    Pengembangan Daya Cipta
f.     Pengembangan Sosial
g.    Pengembangan Estetika
h.    Pengembangan Bakat
2.    Peran Multilingual
Seni merupakan bahasa, berarti pendidikan seni bertujuan mengembangkan kemampuan berekspresi dengan segala cara dengan memakai bahasa seni dan keterpaduannya. Peran pendidikan seni sifatnya multilingual. Melalui pendidikan seni peserta didik mampu berkomunikasi melalui beragam bahasa (baik verbal maupun nonverbal), diharapkan juga mampu memanfaatkan bahasa rupa, bunyi, gerak dan keterpaduannya. Goldberg (dalam Kamaril, C.1999) menyatakan bahwa seni adalah cermin hidup dan cermin realitas, termasuk hidup dan realitas anak (peserta didik) dalam seni terhadap bahasa estetika dan simbolis, yang mampu menghadirkan pencitraan terhadap suatu keadaan tertentu.
Pendidikan seni mempunyai peran untuk mengembangkan berbagai kompetensi dasar yang dimiliki peserta didik dalam kegiatan ekspresi seni. Peran pendidikan seni yang bersifat multilingual secara integratif dapat dipahami melalui beberapa media yaitu media ekspresi, komunikasi, eksplorasi.
a.    Media Ekspresi
b.    Media Komunikasi
c.    Media Bermain/Bereksplorasi
3. Peran Multikultural
Melalui pendidikan seni dengan pendekatan multikultural menurut Gyorgy Kepes (dalam http://yandra08.blogspot.com/2009/07/seni-sebagai-pemberi-identitas-dalam.html) menyebutkan, bahwa sifat multikultural berperan mengembangkan kepekaan sosial anak, menanamkan kesadaran akan adanya perbedaan dan keanekaragaman budaya. Pendidikan seni dengan pendekatan yang bersifat multikultural adalah menjalin, menghargai, dan menumbuhkan rasa bangga terhadap keragaman budaya yang pluralis, baik budaya yang dimiliki maupun budaya orang lain. Paradigma yang hendak dikembangkan dalam pendidikan seni multikultural hendaknya bisa berkembang seiring dengan hak dan keragaman latar belakang peserta didik sebagai pribadi yang belajar bersama-sama, hendaknya saling menghargai toleransi, demokrasi dan hidup rukun dalam masyarakat budaya yang majemuk.
Multikultural berarti keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Keragaman diharapkan menjadi dasar pemersatu bangsa Indonesia, mengingat bangsa Indonesia memiliki keragaman etnis dengan pola tradisi idealisme yang berbeda-beda, yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Oleh sebab itu, peran pendidikan seni rupa yang bersifat multikultural bertujuan menumbuh kembangkan kesadaran dan kemampuan berapresiasi terhadap keragaman budaya lokal dan global. Diharapkan dengan kesadaran hidup akan terwujud suasana kehidupan bermasyarakat yang berkualitas, terbuka dan bijaksana.

PENUTUP
Simpulan
Pendidikan sebagai sub-sistem masyarakat menpunyai peranan mewariskan, memelihara, dan sekaligus sebagai agen pembaharuan kebudayaan. Pendidikan dapat dikonsepkan sebagai proses budaya manusia. Pendidikan seni rupa dapat berkontribusi terhadap pembentukan sikap hidup, oleh karena sikap dan perilaku merupaka satu kesatuan dari sebuah karakter maka pendidikan seni rupa juga dapat berperan dalam pembangunan karakter bangsa yang dimulai dari peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Melalui pembelajaran seni rupa peserta didik akan mampu mengembangkan sikap apresiatif, sensitivitas, dan kreativitasnya, karena itulah pendidikan seni rupa dapat berperan dalam membangun karakter bangsa.
Peran pendidikan seni rupa dapat dirasakan oleh peserta didik melalui pendekatan yang bersifat multidimensional, multilingual, dan multikultural. Pendidikan seni rupa memiliki peranan yang cukup penting dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, khususnya dalam pembentukan dan pembangunan karakter peserta didik, dan lebih jauh lagi adalah karakter bangsa, karena peserta didik merupakan generasi penerus estafet kehidupan bangsa.

Rekomendasi
Dalam penyelenggaraan pendidikan hendaknya tidak jauh dari pengajaran seni dan budaya, karena budaya merupakan cerminan dari jati diri dan karakteristik bangsa. Sehingga dari proses penyelenggaraan pendidikan seni dan budaya dapat ditanamkan pada peserta didik nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.




DAFTAR PUSTAKA
Bastomi. Sejarah Seni Rupa Indonesia-I. Semarang: Jurusan Seni Rupa Unnes.
Ismiyanto, Pc. S. 2010. Strategi dan Model Pembelajaran Seni. Semarang: Jurusan Seni Rupa Unnes.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Lubis, Mochtar. 2008. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Munib, Achmad, dkk. 2007. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT MKK UNNES.
Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soegito, A. T. dkk. 2007. Pendidikan Pancasila. Semarang: UPT MKU UNNES.
Subagyo, dkk. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Semarang: UPT MKU UNNES.
Sugandi, Achmad, dkk. 2007. Teori Pembelajaran. Semarang: UPT MKK UNNES.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB.
http://bk3sjatim.org/?p=1178 (diunduh pada tanggal 14 November 2010)

Rabu, 16 Mei 2012

Analisis Lukisan "Dalang Cilik".



Judul lukisan               :       Dalang Cilik

Pelukis                         :       Imam Nofianto

Ukuran                         :       125cm X 85cm

Media                          :       cat minyak di kanvas

Tahun pembuatan       :       2010









Analisis Lukisan Oleh:
Dandung Gumilar


Bentuk (form)
            Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan terhadap lukisan yang dibuat oleh Imam Nofianto, dapat saya uraikan bahwa form atau bentuknya adalah dengan pendekatan realistik yaitu dengan mempertimbangkan proporsi, perspektif, anatomi, gelap terang serta pemililihan warna untuk menunjukkan kesan realistik. Lukisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas ujian Lukis 2 sehingga penggarapannya membutuhkan konsep yang matang serta membutuhkan persiapan yang cermat. Karya lukisan ini tidak dibuat dengan spontan ekspresif, membutuhkan waktu yang lumayan lama dalam penyelesaiannya dan menggunakan pendekatan realistik dalam penggarapannya.
            Karya lukisan menggunakan media lukis yaitu cat minyak di kanvas, cat minyak mempunyai keplakatan tersendiri  dalam hasil karyanya sehingga mempunyai nilai “ taste” yang lebih. Cat minyak yang digunakan dalam lukisan ini yaitu menggunakan “cat minyak  Marries”, dimana hasil dari penggunaan cat ini tidak cerah dalam hasil karya lukisannya, mungkin disamping  karena catnya mungkin juga campuran minyaknya yang tidak bagus sehingga hasilnya boleh dikatakan kusam. Lukisan ini tidak dibingkai, walaupun tidak dibingkai lukisan ini tetap mempunyai nilai estetik apabila dipajang di dinding karena frame kanvasnya tebal.
            Penggunaan warna pada lukisan ini, dalang cilik menggunakan baju  beskap berwarna biru, pemilihan warna sudah tepat menjadi harmonis dengam aksen-aksen warna kuning yang ada di lukisan tersebut. Warna wayang yang dimainkan oleh dalang cilik dominan  adalah warna kuning sesuai dengan warna karakter wayang kulit pada umumnya serta menunjukkan kontras pada lukisan ini. Warna coklat mendominasi pada warna blangkon dan kulit. Layar dalam pagelaran wayang diberi warna putih kecoklatan  dan wayang-wayang yang tidak dipakai diberi warna dominan hitam karena kurang adanya cahaya. Dalam pagelaran wayang cahaya / lampu fokus kepada layarnya karena adegan wayang kulit terjadi disitu. Background warna disebelah kiri dominan warna kuning kehitaman, menunjukkan adanya nuansa warna dari yang terang ke gelap.
            Dalam lukisan ini divisualisasikan adanya dalang cilik yang sedang melakukan atraksi pagelaran wayang kulit, kemahiran dalang cilik dalam memainkan wayang kulit terlukis dalam lukisan ini.
Tanda (simbol)
            Simbol dalam lukisan ini adalah dalang cilik, menandakan bahwa dalang cilik merupakan penerus dalam upaya untuk melestarikan kebudayaan wayang kulit, walau dengan kepolosan jiwanya. Dalang cilik juga mempunyai makna lebih yaitu sebagai manifestasi kebudayaan wayang kulit yang dapat digunakan sebagai generasi pelestari. Dalang cilik digunakan sebagai perwakilan dari kita, anak kecil saja ada upaya untuk melestarikan kebudayaan wayang kulit, kita yang sudah dewasa ini mengapa kurangnya ada gerakan untuk melestarikan kebudayaan wayang kulit, secara tidak langsung ini merupakan sindiran bagi kita.
            Simbol yang lain adalah wayang kulit, telah diketahui bahwa wayang kulit merupakan kebudayaan dari jawa. Nilai-nilai luhur terkandung disetiap tokoh wayang kulit, dan cerita dalam wayang kulit misalnya, mahabharata maupun ramayana dapat dijadikan referensi dalam diri kita dalam implementasinya dalam pergaulan di masyarakat. Wayang kulit merupakan kebudayaan adiluhung dari jawa yang harus tetap lestari.

Unsur-unsur visual dan prinsip estetik
            Unsur visual dari lukisan ini yaitu garis, cahaya, tekstur, massa, ruang dan isi . Garis dalam lukisan ini terbentuk karena goresan kuas yang kuat, misalnya saja pada bayangan wayangnya ada unsur garisnya. Penggarapan yang realistik membutuhkan penerapan gelap terang yang tepat, dalam lukisan penggunaan cahaya / gelap terang sudah tampak. Dalam setiap benda yang tampak pasti mempunyai tekstur, dalam lukisan ini tekstur yang ada yaitu  tekstur dari goresan cat minyak yang mempunyai tekstur sedikit kasar. Massa atau berat dari lukisan ini kira-kira sekitar ¾ kilogram dengan spanram dari kayu sengon . Unsur ruang dalam lukisan bagus, dengan pengambilan sudut pandang yang estetik sehingga kedinamisan ruang ada pada lukisan ini. Isi dari lukisan ini yaitu tentang upaya untuk melestarikan kebudayaan wayang kulit dengan melibatkan generasi muda agar wayang kulit tetap lestari di generasi berikutnya. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam filosofi wayang kulit harus tetap terjaga dengan regenerasi pelestari yang kreatif.
 Prinsip estetik dalam lukisan ini misalnya tentang perbandingan, perbandingan antar objek sudah sesuai. Proporsi dalang ciliknya sudah tepat, visualisasinya sudah seperti dalang cilik, penggarapannya sesuai dengan anatomi anak. Adanya kesatuan / perpaduan dalam lukisan ini, terlihat adanya keterkaitan antar objek, misalnya dalang cilik yang sedang memainkan pagelaran wayang kulit, keterpaduan antara dalang cilik dengan wayang kulitnya, cara anak memainkan wayang dan unsur-unsur pendukung lainnya, misalnya adanya pelepah pisang untuk menancapkan wayang dan wayang-wayang lain yang ditancapkan di pelepah pisang yang belum dimainkan, ini menunjukkan adanya kesatuan dalam lukisan ini. Prinsip repetisi atau pengulangan dalam lukisan ini ada, yaitu pelukis memvisualisasikannya wayang kulit yang belum dipakai yang ditancapkan di pelepah pisang dengan mengulang-ulang dengan dominan warna hitam. Dalam lukisan ini terdapat adanya keseimbangan asimetris, adanya kesan seimbang walaupun bentuknya tidak simetris, pemanfaatan bidang yang baik yang dilakukan oleh pelukis. Kekuatan arah dalam lukisan ini tidak nampak, perspektif yang digunakan cukup sederhana namun estetik. Kontras dalam lukisan ini terlihat dari warna kuning yang digunakan oleh pelukis sehingga kesan elegan tetap muncul. Dominasi objek terlihat pada lukisan ini, visualisasi dalang cilik yang mendominasi lukisan sehingga adanya “point of interest”  dalam lukisan ini, yang melihat lukisan ini akan lebih fokus ke dalang cilik  dalam mengapresiasinya. Koodinasi antar objek, adanya dalang, wayang kulit, pelepah pisang dan layar untuk pagelaran wayang kulit menunjukkan adanya koordinasi dalam lukisan ini, yang kesemuanya itu saling berkaitan.
Kesan yang diperoleh
            Kesan yang diperoleh setelah melihat lukisan ini adalah tergugah semangatnya untuk bisa melestarikan kebudayaan yang kita miliki. Dalang cilik saja sudah bisa melakukan pagelaran wayang kulit, walau jiwanya masih polos namun tekad untuk melestarikan kebudayaan wayang kulit itu ada. Adanya keterikatan emosi dengan lingkungan kita, misal dengan melihat lukisan ini di daerah kita ada kebudayaan wayang khas daerah kita, kita akan tergugah untuk bisa mengembangkan dan melestarikannya.
Penilaian terhadap gagasan, teknik dan media
            Gagasan yang diangkat oleh pelukis, yaitu melestarikan kebudayaan wayang kulit, ini divisualisasikan dengan sosok dalang cilik yang sedang melakukan pagelaran wayang kulit. Pengangkatan tema yang up to date , sesuai dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat bahwa kesenian wayang sudah mulai terabaikan oleh generasi muda, invasi kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat kita menambah tergerusnya kebudayaan lokal kita yaitu wayang kulit. Ini bisa menjadi refleksi bagi kita untuk lebih menjunjung kebudayaan kita dan melestarikannya ke generasi berikutnya agar tidak hilang ditelan zaman.
            Teknik yang digunakan dalam melukis yaitu realistik, penggarapan dengan memperhitungkan objek yang dilukis agar timbul kesan nyata, sesuai dengan aslinya. Teknik dalam penggarapan lukisan ini  dengan menggunakan kuas sehingga kesan rata dalam lukisan ini ada. Lukisan ini difinishing sehingga lukisan terlihat lebih bagus dan tahan terhadap jamur, kualitas warna cat minyak  akan tetap terjaga.
            Media yang digunakan yaitu kanvas sebagai tempat untuk memvisualisasikan objek yang dibuat yaitu dalang cilik yang sedang melakukan pagelaran. Media lukisnya adalah cat minyak, dengan kuas sebagai media untuk menorehkan cat ke kanvas.
Kesimpulan
Penggarapan lukisan ini sudah baik, dengan konsep yang baik. Dalam penggarapannya pelukis menguasai teknik realis. Unsur visual dalam lukisan ini sudah baik dengan pengolahan warna yang tepat, keterpaduan antar unsur dan prinsip-prinsip estetik diterapkan dengan baik dalam lukisan ini. Penyampaian maksud / tujuan kepada penikmat seni terlukis jelas dengan visualisasi realis yang tergarap dengan baik.
Saran
            Menurut saya lebih baik lagi penggarapan dalam lukisan ini lebih detail lagi, misalnya visualisasi ornamen dari wayang. Ekspresi wajah dari dalang ciliknya diperbarui misalnya ekspresi ceria, sehingga penikmat seni bisa menangkap kesan ceria dari dalang cilik dalam memainkan wayang kulit sehingga kesannya tidak kaku.