TINJAUAN
PUSTAKA
Pendidikan dan
Pendidikan Seni Rupa
Pada
hakikatnya pendidikan adalah upaya sadar dari suatu masyarakat dan pemerintah
suatu negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerus,
selaku warga masyarakat, bangsa dan negara, secara berguna dan bermakna serta
mampu mengantisipasi hari depan generasi penerus yang senantiasa berubah dan
selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara dan hubungan
internasiaonalnya (Subagyo, dkk, 2007: 1). Sementara itu menurut paham
konvensional dalam (Sugandi, dkk, 2007: 6) pendidikan dalam arti sempit
diartikan sebagai bantuan kepada anak didik terutama pada aspek moral atau budi
pekerti. Dari kedua pengertian di atas penulis dapat mengartikan bahwa pendidikan
merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah maupun masyarakat sehingga
kelangsungan generasi penerus dapat diperhatikan, dalam hal ini adalah peserta
didik.
Beberapa
pengertian pendidikan dalam Munib, dkk (2007: 32) sebagai berikut:
a.
Ki Hajar Dewantara
menyatakan, bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh
anak.
b.
Crow and Crow
menyatakan, bahwa pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan
yang cocok bagi individu untuk kehidupn sosialnya dan membantu meneruskan adat
dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.
c.
John Dewey dalam
bukunya Democracy and Education menyebutkan,
bahwa pendidikan adalah proses yang berupa pengajaran dan bimbingan, bukan
paksaan, yang terjadi karena adanya interaksi dengan masyarakat.
d.
Dictionary
of Education menyatakan, bahwa pendidikan adalah
proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku
lainnya di dalam masyarakat tempat orang itu hidup, proses sosial yakni orang
dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya
yang datang dari sekolah), sehingga orang tersebut dapat memperoleh atau
mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal.
e.
Driyarkara menyatakan,
bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia
ke taraf insani itulah disebut mendidik. Pendidikan adalah memanusiakan manusia
muda.
f.
GBHN Tahun 1973
menyatakan, bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik di dalam dan di luar
sekolah dan berlangsung seumur hidup.
g.
UUSPN No. 2 Tahun 1989
menyatakan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan / atau pelatihan bagi pernannya di
masa yang datang.
h.
UUSPN No. 20 Tahun 2003
menyatakan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual-keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
i.
Daoed Joesoef
menegaskan, bahwa pengertian pendidikan mengandung dua aspek yakni sebagai
proses dan sebagai hasil / poduk. Yang dimaksud dengan proses adalah: proses
bantuan, pertolongan, bimbingan, pengajaran, pelatihan. Sedangkan yang dimaksud
dengan hasil / produk adalah: manusia dewasa, susila, bertanggungjawab, dan
mandiri.
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan sistematis, yang dilakukan orang-orang yang diserahi tanggungjawab
untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan
cita-cita pendidikan.
Dalam
Soegito, dkk ( 2007 : 10 ) sesuai dengan pasal 3 UU.No. 20 Tahun 2003,
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab.
Sesuai
dengan apa yang telah tertuang dalam tujuan pendidikan nasional, pendidikan
seni rupa diselenggarakan sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan tujuan
tesebut. pendidikan seni rupa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan
nasional. Selain itu pembelajaran/pendidikan seni merupakan bagian integral
pendidikan atau subsistem pendidikan.
Terkait
dengan pandangan tentang pendidikan seni, Ismiyanto (2010) menyampaikan dua
pandangan tentang pendidikan seni rupa dilihat dari pendekatannya yaitu yang
pertama adalah pendidikan seni sebagai pendidikan ketrampilan. Pendidikan
tersebut memiliki tujuan akhir yaitu siswa mampu menguasai salah satu
ketrampilan di bidang seni. Sementara itu pandangan yang kedua adalah lebih
mementingkan proses atau pengalaman belajarnya tentang berkesenian sebagai
bagian dari pendidikan secara keseluruhan.
Dalam
Ismiyanto (2010), pendekatan kedua pandangan tentang pendidikan seni tersebut
dipengaruhi oleh paham yang berkembang dalam menyiasati atau mendekati dunia
pendidikan seni, yaitu “seni dalam pendidikan” (Art in Education) dan “pendidikan melalui seni” (Education through Art). Pendekatan “seni
dalam pendidikan” sejalan dengan pandangan bahwa pendidikan adalah proses
enkulturasi (proses pembudayaan yang dilakukan dengan upaya mewariskan atau
menanamkan nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi berikutnya). Dengan
demikian, pendekatan “seni dalam pendidikan” merupakan upaya pendidik dan
institusi pendidikan dalam rangka mewariskan, mengembangkan, dan melestarikan
berbagai jenis kesenian melalui sekolah. Penguasaan ketrampilan seni merupakan
hal yang sangat penting, sehingga metode-metode mencontoh, latihan (drill), memola, dikte, dan penugasan
merupakan kelaziman dalam kegiatan pembelajaran.
Kemudian
yang kedua adalah pendekatan “pendidikan melalui seni”, bahwa seni seharusnya
menjadi alat untuk mencapai tujuan pendidikan, bukan untuk kepentingan seni itu
sendiri. Dengan kata lain, peran pendidikan seni bukan sebagai upaya
pengembangan dan pelestarian seni, tetapi sebagai media pengembangan
kepribadian.
Tujuan
dari diselenggarakannya pendidikan seni di sekolah diantaranya adalah untuk
mengembangkan kreativitas dan sensitivitas peserta didik, meningkatkan
kapasitas dan kualitas pengetahuan kesenian peserta didik, dan meningkatkan
keterampilan peserta didik.
Karakter dan Budaya
Bangsa
Karakter merupakan suatu kualitas
pribadi yang bersifat unik yang menjadikan sikap atau perilaku seseorang yang
satu berbeda dengan yang lain. Karakter, sikap, dan perilaku dalam praktek
muncul secara bersama-sama. Sehingga sulit jika kita hanya akan melihat
karakter saja tanpa munculnya sikap atau perilaku (http://bk3sjatim.org/?p=1178). Oleh karena itu berbicara tentang
karakter tidak dapat dipisahkan dengan sikap atau perilaku, sebab karakter itu
akan muncul ketika orang berinteraksi dengan orang lain atau makhluk cipataan
Tuhan lainnya. Secara psikologis konsepnya adalah konsep individual. Jika
kemudian hal tersebut menjadi suatu karakter bangsa maka perlu adanya acuan.
Artinya dari konsep individual menjadi sebuah konsep kemasyarakatan dan lebih
luas lagi yaitu bangsa, maka haruslah ada instrumen sebagai alat evaluasi yaitu
kebudayaan. Secara ringkas kebudayaan berisi sistem nilai, norma dan
kepercayaan. Budaya dikembangkan dan diamalkan oleh masyarsakat pengembangnya,
sehingga anggota masyarakat dalam wilayah budaya tersebut memiliki
kecenderungan yang sama dalam hal mengamalkan sistem nilai, norma dan
kepercayaan mereka. Dengan demikian dalam konteks ini budaya dapat dianggap
sebagai instrumen untuk melihat kencenderungan perilaku pengembangnya.
Dari kedua konsep di atas, maka
dapat dikemukakan bahwa perilaku merupakan resultan dari berbagai aspek pribadi
dan lingkungan. Jadi berbicara tentang karakter merupakan konsep psikologi dan
kebudayaan.
Karakter itu bersifat dinamis, dapat
berubah dari suatu periode waktu tertentu ke periode lainnya, walaupun tidak
mudah. Sebagai salah satu contoh adalah, dulu sering dikatakan bangsa Indonesia
sebagai bangsa Timur yang mempunyai karakter sopan, santun, altruistik, ramah
tamah, berperasaan halus dan lain-lain yang menggambarkan sebuah sikap atau
perilaku yang mengindikasikan keluhuran budi pekerti. Bagaimanakah kondisi
sekarang? Banyak yang meragukan bahwa karakter tersebut masih menjadi ikon
Bangsa Indonesia.
Kebudayaan adalah keseluruhan
gagasan, dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar. Menurut
Koentjaraningrat (dalam Bastomi) asal katanya budaya dari bahasa Sansekerta budhayah.
Kata ini bentuk jamak dari kata budh yang berarti budi atau akal. Dengan
demikian kebudayaan berarti hal-hal yang berhubungan dengan akal dan budi yang
merupakan buah usaha manusia. Sementara itu, Vogler (dalam Sedyawati, 2006:40)
melihat sejarah kebudayaan atau kesenian sebagai suatu proses dalam
satuan-satuan masyarakat yang monolitik. Masyarakat cenderung dilihatnya
sebagai bercorak tunggal untuk satu masa dan satu wilayah. Perubahan gaya seni
ditentukan oleh yang berkuasa dalam masyarakat, baik dalam bidang politik
maupun agama.
Jika kini kita mau membangun
karakter bangsa, persoalannya adalah karakter Bangsa Indonesia itu yang mana?
Kalau karakternya orang Bali, Jawa, Madura, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Ambon,
Irian, dan lain-lain suku bangsa yang ada di Indonesia, mungkin sudah ada,
tetapi kalau karakternya Bangsa Indonesia tampaknya belum jelas.
Bangsa Indonesia dapat dikatakan
secara resmi terbentuk ketika para pemuda dari berbagai suku bangsa yang antara
lain tersebut di atas pada tanggal 28 Oktober 1928 menyatakan sumpahnya yang
kemudian dikenal dengan “Sumpah Pemuda”, mengakui berbangsa yang satu Bangsa
Indonesia, Bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Jadi pada tahun 1928
secara fisik bangsa Indonesia sudah terbentuk. Namun secara psikologis, sosial
budaya, ekonomi, dan lain-lain karakter bangsa belum mengkristal, lebih-lebih
ketika kita hendak tetap menjaga kebinekaan kita.
Dulu, pada era orde baru dan orde
lama diajarkan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur budaya
bangsa. Jika hal ini kita pegang maka karakter bangsa Indonesia adalah
Pancasilais. Karena merupakan sebuah kristal budaya maka karakter itu maka
kelima sila tiu merupakan satu kersatuan, bukan satu-satu. Akan tetapi kini
Pancasila meskipun secara yuridis formal masih diakui sebagai dasar negara,
tetapi pamornya kalah dengan demokrasi. Karakter bangsa yang demokratis kini
lebih mengedepan. Semestinya warna demokrasi di Indonesia mestinya berbeda
dengan demokrasi di negara lain. Memang perbedaan itu dapat terlihat,
setidaknya pelaksanaan demokrasi yang cederung berbau kekerasaan, pemaksaan,
dan anarkhis.
Masalah lainnya, hampir semua
karakter luhur itu bisa dimiliki oleh semua manusia di dunia tanpa melihat suku
atau bangsa apa. Misalnya karakter altruistik mungkin saja tidak hanya menjadi
ikon sebuah bangsa tetapi banyak bangsa-bangsa di dunia yang berkarakter
demikian. Jadi sesungguhnya karakter itu hanya bersumber dari dua sifat khusus
yaitu malaikat dan setan. Ada karakter kemalaikat-malaikatan dan kesetanan.
Dapat ditambahkan dalam kondisi empirisnya campuran antara keduanya.
METODE PENULISAN
Pendekatan Penulisan
Penulisan
ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penulisan berupa
uraian-uraian dari berbagai sumber dan analisa.
Sumber Data
Data-data
yang digunakan pada penulisan ini adalah data-data yang didapat melalui kajian
pustaka.
Sistematika Penulisan
Dalam
penulisan ini sistematikanya terdiri dari halaman judul; berisi judul, nama
penulis, dan nama universitas serta tahun. Pendahuluan; berisi latar belakang
dan rumusan masalah. Telaah pustaka; berisi pendidikan dan pendidikan seni
rupa, karakter dan budaya bangsa. Metode penulisan; berisi pendekatan
penulisan, sumber data, sistematika penulisan. Analisis dan sintesis; berisi
membangun karakter bangsa melalui pendidikan seni rupa. Penutup; berisi
simpulan dan rekomendasi. Bagian terakhir adalah daftar pustaka.